Jejak Kata Arin di Pedalaman Suku Baduy, Banten



Suku Baduy Dalam adalah suku yang berada di wilayah Banten, suku yang sangat menjunjung tinggi adat istiadatnya sekalipun cukup dekat dijangkau dari perkotaan. Mungkin kamu pernah lihat beberapa pria berjalan di jalan kota Jakarta tanpa alas kaki dengan baju khasnya yaitu putih hitam? Membawa madu hitam hasil dari kampung adatnya untuk dijual, bersamaan dengan kain-kain tenun dan kerajinan yang dibuat oleh perempuan-perempuan adat suku Baduy. Ya itu tadi, mereka rela jalan di atas aspal tanpa alas kaki demi menjunjung tinggi adat istiadatnya. Mereka ke Jakarta pun jalan kaki loh, tanpa naik kendaraan apapun dari kampungnya yaitu di Banten. Padahal untuk keluar dari kampung Baduy Dalam saja, kita harus berjalan kurang lebih 3 sampai 4 jam menyusuri hutan, sungai dan naik turun bukit. Kalo denger langsung dari mereka, butuh waktu 2 harian sampai ke Jakarta dengan jalan kaki. Menurut mereka, jika mereka diam-diam ke kota naik kendaraan umum akan kena hukum adat meskipun tidak ketahuan. Misalnya seperti sakit tiba-tiba, bisa sakit apa saja. Nah jadi mereka merasa lebih baik jalan kaki. Sesuatu banget kan, yaitu lah kepercayaan, mengingatkan Indonesia Negara yang paling banyak ragam suku budayanya.


Suku Baduy Dalam, sangat jauh dari sentuhan orang-orang asing, bahkan sejak jaman penjajahan, dia tidak mau tersentuh. Dia tidak mau terkontaminasi hal-hal di luar yang tidak berhubungan dengan alam. Entah karena sudah terlalu lama, aturan-aturan adat yang kadang membuat kita bertanya kenapa dilarang pun, sudah tidak menjadi sebuah pertanyaan lagi bagi warga suku Baduy Dalam. Mereka sudah percaya hukum alam selalu berbicara, hidup berdampingan dengan alam jauh lebih baik. Warga suku Baduy Dalam, masih mau menerima pengunjung-pengunjung lokal, tapi dia tetap dengan keras menolak pengunjung asing memasuki kampung mereka. Pengunjung lokal pun boleh tinggal semalam, tapi harus mau menghargai aturan adatnya, seperti tidak boleh sedikit pun mengambil gambar dalam bentuk apapun di sana. Terasa sekali kan, bahwa benar-benar mereka tidak mau terekspose jauh ke luar. Hanya berupa cerita langsung, turun untuk merasakan langsung hidup di sana 24 jam, bagi yang mau mengenal mereka. Dengan keramahan dan keterbukaannya, mereka mau kok untuk menceritakan langsung seperti apa Baduy Dalam.

Perjalanan yang ditempuh menuju Baduy Dalam yaitu kurang lebih 1 jam dari perbatasan antara Baduy Dalam dengan Baduy Luar. Nah, untuk sampai ke perbatasan dengan Baduy Dalam, Kurang lebih 3 jam kita berjalan di kampung Baduy Luar dari Ciboleger tempat dimana kendaraan pengunjung di parkir. Total jumlah kampung Baduy saat ini adalah 65 kampung yang terdiri dari 62 kampung di Baduy Luar dan 3 Kampung di Baduy Dalam.


Ada beberapa aturan yang berbeda memang antara Baduy Dalam dan Baduy Luar, dari kasat mata pun bisa terlihat. Seperti Baduy luar memakai baju hitam biru, boleh pakai alas kaki. Untuk mandi pun mereka diperbolehkan memakai alat-alat mandi dan bisa memiliki alat komunikasi seperti handphone. Sedangkan Baduy Dalam, sudah khasnya pakaian mereka yang selalu Putih hitam atau cukup hitam-hitam tanpa alas kaki. Mereka juga mandi cukup hanya dengan air sungai yang ada di sisi timur dari kampungnya. Warga Baduy Dalam, tidak boleh memakai alas kaki, tidak memiliki handphone dan juga di dalam kampungnya tidak ada listrik sama sekali. Rumah-rumah yang ada di Baduy memang semuanya dalam bentuk rumah panggung yang terbuat dari bambu. Bedanya adalah rumah Baduy Dalam hanya terbuat dari bambu-bambu tanpa boleh menggunakan paku sama sekali, sedangkan Baduy Luar diperbolehkan menggunakan paku. Dari sekian perbedaan aturan yang ada antara Baduy Dalam dengan Baduy Luar, mereka tetap tidak membeda-bedakan kampung siapa yang derajatnya paling tinggi, semua balik lagi tergantung dari perilaku manusianya aja.


Saya akan menceritakan apa saja yang saya lihat selama kurang lebih 15 jam tinggal di kampung Adat Suku Baduy Dalam. Jam 5 sore saya tiba di kampung Cibeo. Kampung Cibeo adalah salah satu kampung dari 3 kampung yang ada di Baduy Dalam. Saya melewati beberapa rumah panggung kecil yang memang sebagai tempat penyimpanan lumbung padi mereka. Usai itu barulah saya tiba diperkampungannya. Sangat ramai, orang dewasa maupun anak-anak memakai baju yang sama dengan kaki telanjangnya. Terasa di kampung monokrom, hanya ada hitam-putih. Warna lainnya hanya coklat dari bambu-bambu yang disusun menjadi sebuah rumah panggung. Putri-putri mereka sungguh cantik-cantik bak boneka Barbie dengan pakaian sederhannya. Manis-manis pipi merona gitu, saya saja terpesona. Laki-lakinya juga manis-manis sederhana gitu. Terlihat pancaran kebaikan dari hati mereka.


Sore itu, setelah saya meletakan ransel bawaan saya, saya menuju sungai untuk sekedar cuci muka dan kaki. Tepat di jam-jam menuju malam, warga beramai-ramai ke sungai dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang sekedar mengambil air dengan bambu sebagai wadah penyimpan air, mencuci piring-piring dengan abu-abu sisaan bakaran masak, atau mandi dan buang air pun di sana. Sisi sungai yang dipakai untuk pria dan perempuan dibedakan. Diseberang sungai ada hutan lindung, dimana warga tidak boleh menebang pohon sama sekali. Mereka menggunakan kayu-kayu dari hutan yang mereka sebut hutan bergilir. Saat ke sungai, Saya malah salah fokus, sibuk liatin mereka, dengan segala keseruannya bercanda senda gurau tanpa saya mengerti bahasa mereka. Kebayangkan tiap hari mereka melakukan kebersamaan ini dengan bahagianya. Tidak semua dari mereka yang bisa berbicara bahasa Indonesia. Kebanyakan yang bisa berbahasa Indonesia hanya anak laki-laki yang sudah terbiasa menjadi guide dan porter untuk para pengunjung. Dari sana juga salah satu penghasilan mereka. Mereka tetap menggunakan uang loh untuk belanja kebutuhan sandang dan pangan. Tapi karena kebutuhan mereka yang jauh lebih sederhana dibanding kita, jadi mereka pun tidak pernah merasa kekurangan. Tidak ada yang namanya miskin atau kaya.


Di malam hari kita makan bersama pemilik rumah. Saat itu saya tinggal di rumah Bapak Ijong. Beliau tinggal bersama istri dan 1 anak laki-lakinya. Masak dengan tungku dan kayu bakar, serta makan hanya dengan tangan atau bisa membuat sumpit dari bambu. Mereka memang tidak boleh memiliki alat makan yang terbuat dari logam. Kegiatan malam kita, diisi penuh dengan obrolan, cerita dan canda tawa ditemani cahaya dari obor yang digantung di bilik bambu rumah pak Ijong. Tanpa ada tv disana, tetap saja terasa ramai. Oh iya, untuk menikah mereka sudah dijodohkan dari kecil loh sesama warga Baduy Dalam juga. Dan batas usia untuk menikah minimal 17 tahun. Usia rata-rata di sana untuk menikah sekitar 18 tahunan. Cinta atau tidak, mereka menerima dengan legowo. Untuk laki-laki di sana, dilarang melakukan poligami oleh aturan adatnya. Warga Baduy Dalam tidak sebanyak warga di Jakarta, yang artinya bisa saja mereka menikah dengan sepupunya. Tapi pastinya tidak akan menikah dengan sodara kandung.


Saya berpikir, mereka adalah manusia yang benar-benar paling tabah untuk menjalani hidupnya. Kesederhanaanya yang selalu membuat mereka berkecukupan, tanpa ada istilah “dicukup-cukupin”. Saya belajar banyak hal dari mereka.

Terima kasih buat yang sudah baca, semoga berguna. Dokumentasi yang ada di sini hanya yang berada di Baduy Luar. Dilarang mengambil gambar dalam bentuk apapun di Baduy Dalam.
Bye…bye…

Noted : Saya Arin, mencoba menjadikan hobi dan pengalaman untuk membuat rental alat camping. Khatulistiwa Adventure namanya. Khatulistiwa Adventure ini telah menjadi rekomendasi rental alat camping di Bekasi sejak 2016. Untuk liat katalog alat, bisa cek di WA kami 0896-5750-4996. Bisa cek IG juga di @khatulistiwa_adv.

4 komentar untuk "Jejak Kata Arin di Pedalaman Suku Baduy, Banten"

  1. Yang jadi pertanyaan saya nih, tentang apa isi di dalam tas itu, rata rata mereka kan membawa tas khas Baduy. Masih jadi misteri buat saya ? Mba memperhatikan ga rata2 mereka membawa tas

    BalasHapus
  2. Kemaren saya tanya si bang, katanya bawa jas hujan. hehe

    BalasHapus
  3. Uhuuuuy Keren euy udah ditulis perjalanan ke Baduy nya, sayang banget kemaren Saya gak bisa ikutan 😪. Gimana rasanya jalan kaki ke Baduy dalam ? 😂😂😂😂😂

    BalasHapus
    Balasan
    1. wahduh... emang mas Didi naik motor?? curang yaa haha

      Hapus

Posting Komentar